| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, August 25, 2006,11:33 AM

Soeharto dan Soekarno dalam Tap MPR/S

M. Fajrul Falaakh

Status hukum mantan Presiden Soeharto diperbincangkan kembali karena pemeriksaan terhadapnya mengalami kemacetan maupun karena permintaan agar pemerintah mengambil langkah untuk itu. Perbincangan juga dikaitkan dengan kejelasan (atau ketakjelasan) produk MPR selama ini (Kompas, 5/12/2005).

Pemeriksaan terhadap Soeharto memang dikaitkan dengan Ketetapan MPR No XI/1998 yang mengharuskan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) secara tegas, termasuk kepada mantan Presiden Soeharto.
Partai Golkar menggulirkan pendapat bahwa Ketetapan MPR tersebut bisa dianggap tak berlaku lagi karena sudah ada undang-undang yang dinilai merujuk perintah Ketetapan MPR tersebut. Pengacara Soeharto menilai bahwa Ketetapan MPR tersebut terlalu berlebihan karena landasan hukumnya tidak ada dan terlalu politis. Pemerintah bahkan diminta untuk mengambil langkah politis tak jelas apa maksudnya. Namun menarik bahwa permintaan ini juga dikaitkan dengan sikap Soeharto terhadap (almarhum) mantan Presiden Soekarno.

Stigma dua presiden

Ketetapan MPR No XI/1998 (tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN) dihasilkan dalam Sidang Istimewa MPR bulan November 1998. Waktu itu BJ Habibie membutuhkan legitimasi politik dalam melanjutkan pemerintahan, 21 Mei 1998, yang ditinggalkan oleh Presiden Soeharto setelah desakan gerakan reformasi tak terbendung. SI MPR 1998 menambah legitimasi politik Habibie, sekaligus menjadikan pemerintahannya bersifat sementara. Menurut legitimasi konstitusional Habibie dapat menjabat hingga 2003, namun ia harus berkompromi untuk mempercepat pemilu pada tahun 1999 (Ketetapan MPR No XIV/1998).

Kompromi tak terelakkan karena muncul penolakan yang kuat terhadap SI MPR 1998. Para penentang SI MPR 1998 menginginkan Habibie turun jabatan, untuk digantikan oleh presidium pemerintahan transisi yang terutama akan diisi oleh kelompok Ciganjur empat (Megawati Soekarnoputri, Hamengku Buwono X, Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid). Langkah terakhir tak terwujud karena tercapai kompromi di atas. Selain itu, Ketetapan MPR No XI/1998 mencantumkan nama mantan Presiden Soeharto dalam target pemberantasan KKN.

Nasib Soeharto tampak serupa dengan Soekarno. Regalia Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dikikis, pengangkatannya sebagai presiden seumur hidup dibatalkan dengan permohonan maaf (Ketetapan MPRS No XVIII/1966), dan akan didesak untuk didampingi Wakil Presiden (Ketetapan MPRS No XV/1966). Ketika kekuasaan Bung Karno dilucuti dan Pengemban Supersemar Letjen Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden, persoalan menjadi lain.

Pasal 6 Ketetapan MPRS No XXXIII/1967 (Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno) menyatakan bahwa ... penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr Ir Soekarno dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden. Karena tak ada proses peradilan sampai ia meninggal, Soekarno tak memperoleh amnesti maupun abolisi. Keluarga Soekarno pun menginginkan pencabutan Ketetapan MPRS No XXXIII/1967, tetapi gagal meraihnya dalam Sidang MPR 2003. Penulis berpendapat bahwa Ketetapan MPRS No XXXIII/1967 bersifat einmalig dalam hal pencabutan kekuasaan presiden dan Pasal 6-nya tak berlaku karena Soekarno telah meninggal (Newsletter Komisi Hukum Nasional, edisi Juli-Agustus 2003). Tampak bahwa Soekarno dan Soeharto menyandang stigma historikal yang dilekatkan oleh para politisi di MPR/S.

Amnesti dan abolisi

Ketetapan MPR No XI/1998 merupakan haluan negara untuk menanggapi tuntutan reformasi untuk menyelenggarakan secara bersih. Pasal 4 pun menegaskan bahwa ”Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto, dengan tetap memerhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.” Kini proses hukum terhadap Soeharto terkatung-katung antara Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, kemudian berpindah ke tangan profesi kedokteran karena digantungkan kepada (perawatan) kesehatan Soeharto. Dalam konteks ini dapat dimengerti bahwa pemerintah mendukung perawatan kesehatan Soeharto.

Penyelesaian perkara Soeharto dapat ditangani secara politik oleh presiden, yaitu melalui pemberian amnesti dengan persetujuan DPR atau pemberian abolisi dengan pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 14 UUD 1945). Kalau tanpa keputusan pengadilan, maka pemberian amnesti tampak menegaskan Soeharto. Di sisi lain, abolisi berarti mengambil wewenang Kejaksaan Agung untuk menghentikan pemeriksaan (penerbitan SP3) dan membutuhkan pendapat MA yang kredibilitasnya sedang merosot tajam. Cara politis lainnya adalah mempersoalkan Ketetapan MPR No XI/1998. Ketika ditinjau kembali bersama produk MPR/S 1960-2002 (Ketetapan MPR No I/2003), Ketetapan MPR No XI/1998 tidak dibatalkan dan masih berlaku bersama Ketetapan MPR No VIII/2001 tentang Percepatan Pemberantasan KKN.

Dalam kajian yang disampaikan kepada (Badan Pekerja) MPR tahun 2003, penulis dan teman- teman berpendapat bahwa ketetapan ini tidak berlaku lagi karena kebijakan umum untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan memberantas KKN dituangkan dalam UU No 28/1999 (Laporan Kajian tentang Peninjauan Kembali Ketetapan MPR(S) 1960-2002). Namun, Pasal 4 ketetapan tersebut tetap berlaku sebagai arah kebijakan dalam memperlakukan Soeharto, keluarga, dan kroninya (Newsletter Komisi Hukum Nasional, edisi Juli-Agustus 2003). Sejarah para pemimpin negeri ini, dengan nama besar dan segala kelemahannya, adalah bagian dari sejarah bangsa.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home