| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, August 22, 2006,10:51 AM

Pisahkan Kepentingan Negara dan Pemerintah

[JAKARTA] Tiga RUU yaitu RUU Pelayanan Publik, RUU Adminisrasi Pemerintahan dan RUU Etika Penyelenggara Negara telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas), dan diharapkan bisa dibahas oleh DPR pada 2007. Salah satu yang didorong untuk diprioritaskan oleh DPR, adalah RUU Administrasi Pemerintahan, yang diharapkan bisa menetapkan garis tegas antara kepentingan negara dan pemerintah.

"Menyatunya pemerintah dan negara sebagai unsur utama dalam menjalankan roda pemerintahan, menjadi dasar tidak maksimalnya fungsi negara dalam melakukan fungsi-fungsi pelayanan publik," kata Ray Rangkuti, Koordinator Koalisi Masyarakat Untuk Pengawasan Pemerintahan yang Baik dan Bersih (KOMWASPBB), Jumat (18/8).

Dia ditanya komentarnya sehubungan dengan pernyataan Presiden Susilo BambangYudhoyono dalam pidato kenegaraan di DPR menyebut pemerintah tengah menyusun tiga rancangan undang-undang (RUU) tersebut, dalam rangka melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh.

Dikatakan Ray, RUU Administrasi Pemerintahan bisa menjadi penegas untuk pelembagaan institusi yang mewakili publik. "Pembedaan status dan fungsi antara negara dan pemerintah, diharap dapat menjadikan aparat negara sepenuhnya abdi publik, yang pro pada kepentingan publik, bebas dari cengkeraman pemerintah," ujarnya.

Lebih jauh, disebutnya, juga terdapat jaminan atas kepentingan individu dalam berhadapan dengan pemerintah, terutama berkaitan dengan diskresi. "Harus ada ketentuan ketat tentang prosedur dan mekanisme penggunaan diskresi sebagai instrumen bagi administrasi pemerintahan dalam mengambil keputusan, demi melindungi publik terhadap potensi kesewenangan kekuasaan," ucapnya.

"Semakin kecil peluang administrasi pemerintahan dapat melakukan diskresi, maka semakin besar potensi menghindari terjadinya penyimpangan kekuasaan," tutur Ray. Dia mencontohkan penggunaan diskresi oleh pemerintah, dalam pengadaan lahan yang mengharuskan masyarakat mengalah dari dalih kepentingan umum.

Inisiatif

RUU yang merupakan inisiatif pemerintah itu sendiri, saat ini masih belum juga selesai, meski telah memasuki revisi ke-12. Ray menyebut, diharapkan RUU itu sendiri berisi pengaturan yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam berbenah diri. Hal itu mengingat, masih banyaknya isi RUU yang harus dikritisi.

Pasal 1 ayat (4) menyebutkan Pejabat Administrasi Pemerintahan adalah pejabat yang menyelenggarakan fungsi dan tugas pemerintahan di lingkungan pejabat negara/pejabat pemerintahan meliputi presiden dan wakil presiden, ketua dan wakil ketua lembaga negara, menteri, ketua dan wakil ketua komisi.dewan, gubernur, bupati, wali kota, pejabat struktural/fungsional, camat, kepala desa, dan lurah.

Ketentuan itu, kata Ray, telah mengarah pada tujuan untuk membuat pembedaan antara administrasi negara dan administrasi pemerintahan. Namun disebutnya, banyak isi RUU itu yang harus dibuat lebih jelas dan rinci, yang bila tidak malah bisa dijadikan sebagai legalitas dilakukannya penyimpangan yang padahal ingin dihindari.

"Seperti pasal 17 ayat (1) bahwa setiap instansi pemerintah berwenang untuk melegalisasi dan mengesahkan copy dari dokumen administrasi pemerintahan yang dibuatnya," sebut dia. Ayat itu dinilainya bisa menjadi ladang korupsi baru, dengan membuka peluang bagi pejabat administrasi pemerintahan untuk meminta imbalan, karena tidak disebutkan ketentuan legalisasi dan pengesahan salinan dokumen itu tanpa biaya.

Pasal 19 ayat (1) menyebutkan sebelum dibuatnya keputusan administrasi pemerintahan yang akibatnya memberatkan, membebani, atau mengurangi hak orang-perorangan, pejabat administrasi atau badan yang bersangkutan wajib memberikan kesempatan kepada pihak-pihak terlibat untuk didengar pendapatnya mengenai fakta dan dokumen terkait.

"Apakah masukan dari masyarakat bersifat mengikat? Bagaimana memastikan bahwa masukan masyarakat telah cukup memadai dalam keputusan suatu kebijakan administrasi negara," kata Ray. Apalagi dengan adanya pengaturan pada Pasal 19 ayat (2) butir (a) yang mengatur bahwa kewajiban dilaksanakannya dengar pendapat itu bisa dinyatakan tidak berlaku untuk keputusan yang bersifat mendesak, dan melindungi keputusan umum.

Hal itu tentunya jadi bahan pertanyaan serius, mengapa suatu RUU yang disebut demi menghilangkan penyimpangan, justru memuat pengaturan yang bakal mempertegas penyimpangan. Komitmen presiden untuk membenahi birokrasi secara menyeluruh, benar-benar ditunggu dalam bentuknya yang nyata. [B-14]

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home