| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, August 23, 2006,11:49 AM

Kemenangan Hizbullah dan Nuklir Iran

Smith Alhadar
Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies

Di luar dugaan siapa pun, Hizbullah memenangkan perang melawan Israel. Memang penghentian perang Hizbullah-Israel (12 Juli-14 Agustus) bukan ditentukan oleh menyerahnya Israel, tapi Resolusi DK PBB No 1701 yang menyerukan kedua pihak melakukan gencatan senjata. Namun, secara militer Hizbullah memenangkan perang mengingat tidak satu pun target Israel tercapai. Yang terpenting di antaranya adalah membasmi Hizbullah.

Padahal mesin perang kedua pihak tidak seimbang. Israel memiliki 168 ribu pasukan, beberapa kapal perang, ribuan tank, ratusan pesawat tempur dan helikopter militer, dan senjata-senjata canggih termasuk bom GBU-28 yang dapat menghancurkan bunker setebal enam meter. Sementara Hizbullah hanya memiliki sekitar 3.000 personel dan ribuan Katyusha --roket peninggalan Perang Dunia II yang hanya memiliki jangkauan 20 km dengan daya rusak rendah-- dan rudal lainnya.

Ketika perang berhenti pada 14 Agustus, Israel kehilangan 74 tank Mirkava, empat helikopter militer, satu kapal perang, dan 118 serdadu tewas. Sementara Hizbullah hanya kehilangan puluhan tentara dan persenjataannya relatif masih utuh. Resolusi 1701 memang menyerukan pelucutan senjata Hizbullah dan keharusannya mundur dari Lebanon selatan, yang merupakan basisnya. Tapi siapa yang dapat melucuti senjata para pejuang Syiah ini?

Tahun 2004, Resolusi DK PBB No 1599 juga telah menyerukan pelucutan senjata Hizbullah, namun hal ini tidak dapat dilakukan pemerintah Lebanon karena posisi Hizbullah di negeri itu sangat kuat. Mereka punya anggota di parlemen dan menteri di eksekutif. Lebanon sendiri tidak punya angkatan bersenjata yang memadai untuk menjaga teritorinya dari serangan eksternal. Lebih dari itu, Hizbullah didukung Iran dan Suriah yang punya pengaruh besar di Lebanon. Jadi, diperkirakan setelah Israel mundur dari Lebanon selatan yang diharuskan Resolusi 1701 dan masuknya 15 ribu tentara Lebanon serta 15 pasukan pasukan PBB (UNIFIL) untuk menjaga wilayah Lebanon selatan sebagai buffer zone, tidak akan mempengaruhi eksistensi Hizbullah. Apalagi 40 persen tentara Lebanon adalah anggota Syiah yang bersimpati pada Partai Allah ini.

Posisi Iran
Menangnya Hizbullah dengan sendirinya memperkuat posisi Iran --pihak yang bersama Suriah melatih, mendanai, dan mempersenjatai Hizbullah-- dalam tawar-menawar dengan AS terkait dengan program nuklirnya. Tadinya AS --yang ngotot menghentikan program pengayaan uranium Iran-- berharap kekalahan Hizbullah dapat menjadi batu loncatan bagi AS untuk melakukan serangan pre-emtif (pre-emtive strike) terhadap instalasi nuklir Iran sebagaimana diungkap Seymour Hersh, wartawan AS pemenang Pulitzer, yang mengutip seorang ahli Timur Tengah.

Iran kini diberi opsi memilih oleh DK PBB. Apakah Iran akan meneruskan aktivitas pengayaan uranium dengan resiko sanksi PBB atau menghentikan aktivitas itu dengan imbalan jaminan keamanan, pencabutan embargo, mendapat akses ekonomi Eropa yang lebih besar, dan mendukungnya menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Melihat Iran enggan menerima paket insentif Eropa, yang didukung Washington, AS dan Israel sepakat untuk melakukan serangan pre-emtif terhadap instalasi nuklir Iran setelah Hizbullah ditaklukkan. Mereka khawatir Iran akan menggerakkan Hizbullah menyerang Israel sehingga menyeret negara-negara Arab, terutama apabila Suriah yang telah menandatangani pakta militer dengan Iran, ikut terlibat.

Dengan gagalnya Israel menghancurkan Hizbullah, posisi Iran di Timur Tengah kini semakin kuat, yang belum pernah dialaminya sejak Revolusi Islam 1979, yang akan mempengaruhi sikapnya dalam soal program nuklirnya. Iran kini mempunyai pengaruh di Irak, yang didominasi kelompok Syiah; di Suriah yang merupakan sekutu tradisionil Iran; di Lebanon melalui golongan Syiah, terutama Hizbullah; dan di Palestina melalui Hamas dan Jihad Islami. Dengan demikian, Timur Tengah akan berkobar bila Iran dan AS terlibat konflik senjata. Melihat kenyataan ini, terbuka kemungkinan posisi AS dan sekutu Eropanya akan berubah terkait dengan nuklir Iran. Opsi militer hampir pasti akan ditinggalkan. Opsi ini memang sangat berbahaya. Selain akan mengobarkan Timur Tengah yang akan memicu kenaikan harga minyak dunia secara gila-gilaan, Iran sendiri memiliki kemampuan membalas setiap serangan AS.

Rudal Shihab-3 buatan Iran dengan bahan bakar padat mampu menjangkau setiap basis militer AS di Asia Tengah dan Timur Tengah, termasuk Israel. Iran hanya bisa dikalahkan dalam suatu perang panjang dengan melibatkan sejumlah besar angkatan bersenjata AS, hal yang nyaris tak bisa dilaksanakan AS mengingat tentaranya kini tersebar di mana-mana. Itu pun dunia internasional harus membayar mahal akibat tersendatnya aliran minyak Teluk Persia.

Dengan demikian, menekan Iran untuk melepaskan program pengayaan uraniumnya kini semakin sulit. Sanksi ekonomi terbatas, juga tidak akan berhasil. Sejak 1979 Iran sudah terkena embargo ekonomi AS dan Eropa. Faktanya Iran tetap survive, bahkan mengalami kemajuan di segala bidang secara signifikan. Ekonominya yang sempat anjlok hingga GNP-nya tinggal setengah dibanding pada zaman syah yang mencapai 2.400 dolar AS, pada tahun 1980-an akibat terlibat perang besar dengan Irak selama delapan tahun, kini telah kembali ke level 2.400 dolar AS. Berbagai teknologi dan industri pun mengalami kemajuan pesat.

Maka perlu ada pendekatan baru terhadap isu nuklir Iran. Tidak perlu memaksanya meninggalkan program pengayaan uranium yang sah sesuai Pakta Non-Proliferasi Nuklir (NPT), tapi penguatan mekanisme dan instrumen PBB. Misalnya, penguatan IAEA, apalagi Iran bersedia menandatangani protokol tambahan yang memungkinkan IAEA melakukan inspeksi mendadak terhadap setiap situs nuklirnya. Bila sanksi ekonomi dan politik yang dipilih, bisa jadi Iran akan keluar dari NPT seperti Korea Utara, yang akan semakin meresahkan komunitas internasional.

Fakta Angka

74 unit
Tank Mirkava milik Israel yang berhasil dihancurkan Hizbullah dalam peperangan terakhir.

4 unit
Helikopter militer Israel bisa dirusak Hizbullah selama 12 Juli 2006 hingga 14 Agustus 2006.

118 orang
Serdadu Israel yang tewas dalam agresi selama sekitar sebulan itu.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home