| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, August 23, 2006,11:43 AM

Adam Smith dan Reformasi Sosial

Sugeng Bahagijo

Pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 16 Agustus lalu sedikitnya menyinggung tiga perkara: reformasi politik, reformasi ekonomi, dan reformasi sosial. Perdamaian di bumi Aceh menjadi capaian reformasi politik, sedangkan upaya perbaikan iklim investasi mewakili capaian-capaian di lini reformasi ekonomi.

Bagaimana dengan reformasi sosial? Kemiskinan, pengangguran, kesehatan, dan pendidikan serta bencana alam menjadi kata kuncinya. Pembangunan puskesmas, penurunan harga obat generik, serta kenaikan tunjangan guru dan dosen menjadi solusi yang akan dilaksanakan.

Sayangnya, meskipun menyebut satu dua solusi pengurangan kemiskinan dan pengangguran, pidato presiden kurang merinci apa saja keruwetan dan rintangan dalam reformasi sosial. Selain faktor pertumbuhan ekonomi dan investasi, pidato tidak mengurai dilema-dilema bagi reformasi sosial.

Apakah keruwetan pada penganggaran/ pendanaan, regulasi, ataukah kinerja institusi/birokrasi ? Akibatnya, pidato presiden dianggap kurang inspiratif. Bahkan cenderung truisme dan tidak memiliki fokus, kata ilmuwan sosial Herry B Priyono (Kompas, 18/8/2006).

Reformasi sosial

Reformasi sosial tidak lain adalah langkah dan kebijakan negara dalam mengatasi kemiskinan dan pengangguran serta marginalisasi sosial. Negara, ujar James O’Connor (1973), memiliki dua peran ganda, akumulasi dan legitimasi: negara aktif menciptakan "kue ekonomi" dan sekaligus aktif meneteskan atau membagi "kue ekonomi" itu. Ini kiranya senada dengan kata kunci pidato 17 Agustus itu: " "pertumbuhan dan pemerataan".

Jangan lupa, bapak pasar bebas Adam Smith (1776) pun pernah menulis, salah satu tugas negara adalah "menegakkan dan menjaga lembaga-lembaga publik sehingga walaupun lembaga-lembaga itu sedemikian menguntungkan bagi masyarakat, manfaatnya tak akan pernah dapat mengimbangi pengorbanan individu-individu atau sekelompok kecil individu" (Barr, The Economic of Welfare State, Stanford University Press, 1998).

Karena itu, di berbagai negara maju hadir aneka kebijakan dan institusi dalam bidang upah, pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial. Ahli ekonomi Nicholas Barr dari London School of Economics menulis, dalam ekonomi pasar, kebijakan pemerintah vital dan tak tergantikan. Karena informasi yang tidak lengkap, pasar bisa gagal (Stiglitz, Akerloff). Maka, regulasi, pendanaan, dan produksi barang dan jasa menjadi metode bagi pemerintah. Tujuannya ganda tetapi saling mendukung: keadilan sosial dan efisiensi ekonomi.

Urgensi reformasi sosial ini bukan barang baru. Di Inggris, sejak Poor Law dan Beveridge Report 1942, urusan kemiskinan, pengangguran, kesehatan, dan usia tua menjadi urusan negara (kebijakan publik). Di Inggris, National Health System (NHS) menjadi sistem institusi kesehatan yang universal, bermutu, dan andal. Sejak UNDP mencanangkan konsep human development, ukuran kemajuan bangsa diukur pula dengan capaian-capaian HDI (Human Development Index). Bukan sekadar angka-angka PDB.

Kita tahu di Uni Eropa, anggota-anggota Uni Eropa diikat oleh social charter yang menetapkan pedoman upah layak, pendidikan, kesehatan, serta jaminan sosial dan sebagainya. Intinya, pertumbuhan ekonomi serentak disertai belanja sosial dan institusi-institusi sosial yang menunjangnya.

Koherensi ekonomi dan sosial

Untuk meraih reformasi sosial, salah satu keruwetan klasik di negara berkembang adalah absennya koherensi antara lini ekonomi dan keuangan di satu pihak dengan tujuan-tujuan reformasi sosial, di pihak lain. Diskoneksi terjadi pada rancangan ekonomi keuangan yang konservatif dan kontraktif, dengan target-target pembaruan sosial.

Satu indikator adalah Menko Perekonomian kuat dalam makroekonomi dan keuangan, tetapi lemah dalam analisis HDI, institusi sosial, dan reformasi sosial. Di kantor Presiden dan Wapres tidak ada semacam unit strategi kebijakan yang membantu memastikan koherensi dan koneksi antara berbagai sektor dan lintas sektor. Keterputusan mata rantai sering berlangsung antara rencana di atas kertas dan pelaksanaan di lapangan (problem delivery system).

Indikator lain adalah alokasi dan belanja APBN. Simaklah data APBN 2007 berikut. Besar "amplop" pemerintah dirancang sebesar Rp 713 triliun lebih (20,2 persen PDB). Itu lebih besar dari tahun 2006 (Rp 651,9 triliun), tetapi secara rasio PDB lebih kecil (tahun 2006, 20,9 persen). Defisit dipatok lebih kecil, 0,9 persen. Padahal, UU Keuangan Nomor 17 Tahun 2003 membolehkan defisit hingga 3 persen PDB.

Untuk memacu investasi pemerintah, belanja modal menjadi andalan. Namun, belanja modal yang cuma 1,9 persen PDB menurun daripada tahun 2006 (2,1). Padahal, kita perlu tumbuhnya sektor riil dalam negeri. Wajarlah jika analis keuangan menilai, APBN 2007 sulit untuk menjadi stimulus ekonomi yang memadai (Paulus Nurwadono, Kompas, 19/8/2006).

Reformasi sosial memang tidak lepas dari minimnya fiskal (beban utang dan besaran dana) dan kinerja birokrasi dalam pelayanan publik. Karena itu, koherensi antara makroekonomi dan reformasi sosial penting. Di Indonesia, barangkali ini adalah tugas Menko Perekonomian dan Menko Kesra.

Akan tetapi, reformasi sosial dapat juga dilakukan di tengah minimnya dana. Sebab, di tangan pemerintah ada dua sumber daya/instrumen selain anggaran: regulasi dan institusi. Contohnya adalah kelahiran UU Kewarganegaraan yang baru. UU ini boleh menjadi catatan positif dari reformasi sosial. Meskipun di sana-sini ada keterbatasan, semangat dan isinya lebih universal dan inklusif.

"Median voters"

Peran presiden tidak lain adalah memastikan adanya koherensi konseptual dan koordinasi kelembagaan, antara lain dengan menetapkan ragam sarana atau gabungan sarana (budget, regulasi, institusi) itu untuk memecahkan aneka masalah. Lebih dari menteri yang sektoral dan satu-dimensi, Presiden de facto dan de jure menilai masalah secara lintas-bidang (cross-cutting) dan multidimensi sehingga reformasi sosial berjalan seiring dengan reformasi politik dan ekonomi.

Dari sisi politik, pemerintah dan presiden biasanya concern dengan para pemilih. Di berbagai negara maju ada istilah median voters yang mencerminkan tren kebutuhan atau aspirasi sosial rata-rata pemilih dalam pemilu. Median voters biasanya lalu menjadi rujukan pemerintah demokratis yang lahir dari pemilu. Seandainya berbagai jajak pendapat Kompas dan LSI mewakili median voters itu, pemerintah penting merujuknya.

Jika median voters dirujuk, maka soal pelayanan umum mungkin satu agenda mendesak. Contohnya adalah RUU Pelayanan Publik, yang sedang disiapkan oleh Menneg PAN. RUU ini dapat menjadi mata tombak reformasi birokrasi sekaligus strategi afirmatif mendekatkan negara dengan warga dan merealisasi pelayanan umum yang mudah dan terjangkau. Di era otonomi daerah, UU ini dapat menjadi "sungai besar" dari berbagai "pulau-pulau" inovasi pelayanan umum yang dikerjakan oleh banyak pemerintah daerah. Dengan penataan ulang dan kontrak kinerja, lembaga-lembaga seperti Jamsostek, Askes dan lainnya dapat diarahkan, ibarat tim sepak bola, untuk lebih banyak "mencetak gol ke gawang lawan": meningkatkan kinerjanya dan memperluas cakupan pelayanan.

Pidato presiden telah mengurai benang kusut reformasi politik dan reformasi ekonomi, tetapi belum banyak membedah keruwetan reformasi sosial. Keruwetan reformasi sosial perlu lebih menjadi fokus. Sebab, bukankah legitimasi pemerintah dan masa depan kita semua sebagai bangsa terletak di sana?

Sugeng Bahagijo Ko-Penulis Buku Mimpi Negara Kesejahteraan (LP3ES, 2006)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home